KOMPAS.com - Mata Choirul Ihwan alias Agus alias Heru, 40 tahun, merah dan berkaca-kaca saat menceritakan titik balik perjalanan hidupnya.
Wajah mendiang ibunya terbayang-bayang di pelupuk mata bekas narapidana terorisme ini. Selama tiga hari berturut-turut, ibunya hadir dalam mimpinya.
"Esoknya saya telepon rumah. Di ujung telepon suara kakak perempuan menangis dan menyampaikan ibu meninggal beberapa jam yang lalu," kata Choirul saat memberi kesaksian dalam kursus singkat liputan terorisme berperspektif korban di Malang, 4-5 Februari 2020.
Baca juga: Bebas, Napi Teroris di Ngawi Dikawal Saat Pulang Kampung ke NTB
Kematian ibunya menjadi titik balik untuk menjauhi jaringan terorisme di Indonesia.
Ikatan batin antara anak dan ibu nyata, katanya, padahal sebelumnya ia merasa tak mendapat kasih sayang keluarga.
Setelah telepon, ia menangis sejadi-jadinya. Padahal Choirul mengkafirkan kedua orang tua dan keluarganya, dan memilih meninggalkan rumah pada 2009.
Choirul terpapar paham radikalisme sejak 2001 dan bergabung Jamaah Thaliban Melayu 2008. Ia ahli perakit senjata api dan bom, serta merekrut puluhan jamaah baru.
Baca juga: Pengakuan Napi Terorisme Tolak Baiat ISIS di Nusakambangan, Waswas Takut Dibunuh Saat Tidur
Sebagian besar anggota memilih bergabung dengan ISIS ke Suriah dan Irak. "Sebagian meninggal di sana," katanya kepada BBC News Indonesia.
Ia ditangkap di Bekasi 2013 dan menjalani hukuman di Lapas Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Setelah menjalani hukuman selama empat tahun, ia dibebaskan pada 2017.
Selama menjalani hukuman, Aliansi Indonesia Damai (Aida) berdialog dengan Khoirul. Kini, ia bergabung dengan tim perdamaian Aida.
Sejak dua tahun lalu, ia beberapa kali dipertemukan dengan keluarga korban aksi terorisme.
Dalam forum itu, Choirul meminta maaf atas kekerasan yang dilakukan jaringannya dan penderitaan yang dialami korban.
"Saya bukan pelaku langsung, tapi saya pernah mendukung aksi pelaku. Di akhirat akan menjadi tanggungan saya kalau tak mendapat maaf," katanya.
Aida melakukan pendekatan cukup lama sekitar setahun. Keduanya tidak langsung dipertemukan untuk menghindari gesekan.
Alhamdullah, ujar Khoirul, saat dipertemukan kedua belah pihak saling memaafkan.
Baca juga: Khilaf dan Maaf di Balik Jeruji Pelaku Bom Kedutaan Australia di Nusakambangan
Choirul memberikan kesaksian bersama Christian Salomo korban bom Kedutaan Besar Australia 9 September 2004.
Christian mengaku awalnya sulit memaafkan pelaku lantaran menyebabkan penderitaan berkepanjangan. Bahkan ada serpiham logam yang tertanam di dalam tubuhnya.
"Saya harus menjalani operasi berulang kali," kata Christian.
Bahkan, kejadian itu menimbulkan trauma berkepanjangan. Hingga kini, ia mengaku ketakutan saat berdekatan dengan mobil boks.
Trauma atas kejadian 16 tahun itu belum hilang dari memorinya.
Baca juga: 36 Napi Terorisme dari Cipinang dan Gunung Sindur Dipindahkan ke Nusakambangan